Tahun
ini, Indonesia dan Negara Asia Tenggara lainnya sudah memasuki era
pemberlakukan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), yakni segala kegiatan ekonomi
seperti ekspor dan impor barang, investasi, arus jasa, bebas di kalangan negara
ASEAN. Implikasinya, orang Indonesia tidak lagi bersaing hanya dengan orang
Indonesia, tapi juga bersaing dengan negara ASEAN lainnya. Orang dari negara
ASEAN bebas melamar pekerjaan di Indonesia, begitu juga orang Indonesia yang
juga bebas melamar pekerjaan di negara ASEAN.
Masalah
pemberlakukan MEA sudah barang tentu tidak lepas dari Liberalisasi Ekonomi,
dimana tak satupun elemen pengikut mainstream ini boleh diproteksi, termasuk
oleh pemerintahnya sendiri. Dan setiap pemerintah peserta MEA diharapkan dapat
memiliki sikap dan memperlakukan sama terhadap para pelaku ekonomi, baik
warganya maupun pelaku dari dari negara lain peserta MEA.
Jarang
pemerintah peserta MEA yang pesimis menanggapi tentang MEA, karena mungkin
konsekwensi logis dari pemerintahan yang telah menandatanganinya, namun ada
juga yang kurang optimis, jika tidak mau disebut pesmis. Apa mau dikata, tokh masyarakat
Indonesia harus siap menghadapinya.
Bagi
masyarakat awam yang sama sekali tidak memperhatikan perkembangan ini, tentu
memunculkan pertanyaan, apakah keuntungan MEA untuk negara-negara yang
tergabung didalamnya? Sekalipun ada 600 juta manusia yang tinggal di Asia
Tenggara dapat meningkatkan kesejahteraan mereka masing-masing karena lapangan
kerja baru yang tersedia semakin banyak. Namun sudah cukupkah kompetensi
orang-orang Indonesia dalam mengarungi persaingan di kancah MEA. Malah,
jangan-jangan jumlah penduduk Indonesia yang terbesar dikawasan ini malah
dijadikan obyek monsumtip dari sejumlah barang produk Negara lain, tidak
sebaliknya.
Memang
ada harapan, karena sebagian produk lokal telah mendapatkan tempat di
negara-negara Asia Tenggara, itu artinya bukanlah hal yang sulit untuk menjual
produk lokal kita. Indonesia memang masih perlu memperbaiki diri karena kita
akan mengalami beberapa hambatan dalam menghadapi MEA, yakni mutu pendidikan
tenaga kerja Tanah Air yang masih sangat rendah, hingga Febuari 2014 jumlah
pekerja berpendidikan SMP atau dibawahnya tercatat sebanyak 76,4 juta orang
atau sekitar 64 persen dari total 118 juta pekerja di Indonesia.
Optmis memang perlu, apalagi pemerintahan
kita sudah kadung menyetujui. Namun tentunya, jangan dibiarkan masyarakat kita
berjalan sendiri tanpa dibekali kompetensi dan sarana yang cukup, atau jangan
dibiarkan mereka hanya menjadi penonton dinegerinya sendiri, kalah bertarung.
Karena tokh kita pernah mengalami peristiwa yang mengenaskan, ketika politik
pintu terbuka dulu diberlakukan rezim orba, bahkan kesusahan ekonominya pun
masih terasa sampai sekarang. Yang penting, pemihakan terhadap kepentingan
warga bangsa harus tetap ada, sekalipun harus sembunyi-bunyi jika takut
dianggap memproteksi, bukankah konstitusi kita mengamanatkan tentang keharusan Negara
melindungi warga bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar