Kamis, 07 Januari 2016

Tentang MEA


Tahun ini, Indonesia dan Negara Asia Tenggara lainnya sudah memasuki era pemberlakukan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean), yakni segala kegiatan ekonomi seperti ekspor dan impor barang, investasi, arus jasa, bebas di kalangan negara ASEAN. Implikasinya, orang Indonesia tidak lagi bersaing hanya dengan orang Indonesia, tapi juga bersaing dengan negara ASEAN lainnya. Orang dari negara ASEAN bebas melamar pekerjaan di Indonesia, begitu juga orang Indonesia yang juga bebas melamar pekerjaan di negara ASEAN.

Masalah pemberlakukan MEA sudah barang tentu tidak lepas dari Liberalisasi Ekonomi, dimana tak satupun elemen pengikut mainstream ini boleh diproteksi, termasuk oleh pemerintahnya sendiri. Dan setiap pemerintah peserta MEA diharapkan dapat memiliki sikap dan memperlakukan sama terhadap para pelaku ekonomi, baik warganya maupun pelaku dari dari negara lain peserta MEA.

Jarang pemerintah peserta MEA yang pesimis menanggapi tentang MEA, karena mungkin konsekwensi logis dari pemerintahan yang telah menandatanganinya, namun ada juga yang kurang optimis, jika tidak mau disebut pesmis. Apa mau dikata, tokh masyarakat Indonesia harus siap menghadapinya.

Bagi masyarakat awam yang sama sekali tidak memperhatikan perkembangan ini, tentu memunculkan pertanyaan, apakah keuntungan MEA untuk negara-negara yang tergabung didalamnya? Sekalipun ada 600 juta manusia yang tinggal di Asia Tenggara dapat meningkatkan kesejahteraan mereka masing-masing karena lapangan kerja baru yang tersedia semakin banyak. Namun sudah cukupkah kompetensi orang-orang Indonesia dalam mengarungi persaingan di kancah MEA. Malah, jangan-jangan jumlah penduduk Indonesia yang terbesar dikawasan ini malah dijadikan obyek monsumtip dari sejumlah barang produk Negara lain, tidak sebaliknya.

Memang ada harapan, karena sebagian produk lokal telah mendapatkan tempat di negara-negara Asia Tenggara, itu artinya bukanlah hal yang sulit untuk menjual produk lokal kita. Indonesia memang masih perlu memperbaiki diri karena kita akan mengalami beberapa hambatan dalam menghadapi MEA, yakni mutu pendidikan tenaga kerja Tanah Air yang masih sangat rendah, hingga Febuari 2014 jumlah pekerja berpendidikan SMP atau dibawahnya tercatat sebanyak 76,4 juta orang atau sekitar 64 persen dari total 118 juta pekerja di Indonesia.

Optmis memang perlu, apalagi pemerintahan kita sudah kadung menyetujui. Namun tentunya, jangan dibiarkan masyarakat kita berjalan sendiri tanpa dibekali kompetensi dan sarana yang cukup, atau jangan dibiarkan mereka hanya menjadi penonton dinegerinya sendiri, kalah bertarung. Karena tokh kita pernah mengalami peristiwa yang mengenaskan, ketika politik pintu terbuka dulu diberlakukan rezim orba, bahkan kesusahan ekonominya pun masih terasa sampai sekarang. Yang penting, pemihakan terhadap kepentingan warga bangsa harus tetap ada, sekalipun harus sembunyi-bunyi jika takut dianggap memproteksi, bukankah konstitusi kita mengamanatkan tentang keharusan Negara melindungi warga bangsa ini.

Tidak ada komentar: